Bukan Milikku

PicsArt_08-31-12.52.30

Source: www.askideas.com/media/72/Ice-cream-stick-craft-house.jpg

Jarak toko kelontong dengan rumah Rama tidak begitu jauh jadi mereka berdua hanya berjalan kaki. Menit-menit pertama sunyi tanpa obrolan. Rama hanya berjalan santai dan diikuti Nia dibelakang sembari menikmati lingkungan sekitar.

“Eh, Nia!” seru Rama, yang dipanggil menoleh.

“Kenapa sih kamu ngebet banget jadi dokter? Padahal nggak gampang kan masuknya? Udah gitu mahal lagi biayanya,” lanjutnya.

Nia tersenyum, “Gimana ya? Habis dari kecil itu sudah menjadi cita-citaku sih. Aku kagum dengan mereka yang bisa menyembuhkan orang sakit. Dulu kupikir mereka bisa mengeluarkan cahaya dari tangannya dan hanya menyentuh pasiennya langsung bisa sembuh seperti kartun di televisi itu.”

Nia tertawa kecil, “Tetapi semakin lama aku semakin tahu kalau mereka harus mempelajari banyak hal yang sangat rumit untuk menjadi dokter semenjak aku mengenal pelajaran biologi. Sampai sekarang aku masih kagum dengan para dokter yang telaten memeriksa, berhati-hati dalam menakar obat dan tetap ramah pada pasiennya. Menurutku dokter itu adalah perpanjangan tangan dari Tuhan dan aku ingin menjadi bagian darinya.”

Rama memasang muka sok tahunya, “Sebulan lagi kan ada pendaftaran jalur undangan. Apakah kamu juga akan memilih … kedokteran?”

Nia menelaah sejenak pertanyaan Rama lalu mengangguk yakin.

“Meskipun nilai biologimu tidak pernah menyentuh angka 80?” Rama mulai mengirimkan senjata mematikan.

Nia langsung menjawab, “Hei, ngaca dulu dong sebelum bertanya!”

“Aku kan nggak masuk kedokteran jadi mereka nggak akan mempertimbangkan nilai biologiku. Aku mau masuk jurusan komputer, nilai matematika lebih diutamakan. Lagian aku pernah mendapatkan nilai biologi 85 waktu semester satu. Kamu kapan?” serangan Rama lebih banyak.

Semakin terpojok Nia berusaha membalikkan serangan, “Alah, mana bisa kamu mengandalkan matematikamu? Tiap ulangan aja kamu selalu nyontek Mono. Lagian kalau jalur undangan itu seleksinya dilakukan secara menyeluruh, tidak terpaku pada satu mata pelajaran tertentu yang berhubungan langsung dengan jurusan yang dipilih.”

“Heh, itu bukan nyontek tapi strategi!” Rama agak berteriak. Tidak bisa berkelit.

“Asal kamu tahu ya. Jurusan komputer UDM itu juga banyak peminatnya, nomor dua setelah kedokteran ditambah biayanya juga tidak jauh dengan kuliah kedokteran,” Nia memberi serangan tambahan.

Mereka berdua terus saling balas hingga sampai di toko kelontong yang dituju. Untuk sementara ini adu pendapat antarpemilihan jurusan break terlebih dahulu.

Masuk ke toko kelontong alih-alih mencari barang yang hendak dibeli, Rama langsung menghampiri pelayan toko yang menurut Nia mereka sudah saling akrab. Rama menggoda karyawati yang selisih dua tiga tahun lebih tua dengannya itu. Yang digoda pun ketawa-ketiwi sebentar lalu melayaninya. Nia hanya mengikuti dari belakang. Awalnya si karyawati mengira bila Nia adalah pacar Rama tetapi cowok itu langsung mengelak dan berkelakar. Nia juga tidak mau berpacaran dengan si lidah pahit itu.

Sepuluh menit akhirnya acara belanja itu selesai. Perjalanan pulang dengan membawa lima bungkus stik es krim dan beberapa botol lem hanya membahas tentang karyawati toko kelontong tadi. Ternyata dia sudah kuliah di Universitas Terbuka. Sesampainya di rumah, Mono terlihat sibuk dengan desain maketnya tetapi tiba-tiba dia menyerahkan desain itu pada mereka berdua.

“Ini untuk referensi saja. Bentuknya cukup bagus tetapi agak kecil agar tidak menghabiskan banyak bahan. Itu cuma kasarannya saja, kalian bisa menyempurnakannya,” ujar Mono datar.

“Oke aku suka. Nia?” nilai Rama.

Yang ditoleh mengangguk dan berkata, “Baguslah daripada kita bersilat lidah tanpa menemukan ujung benang merahnya.”

Mereka bertiga pun mulai bekerja, sesekali tidak hanya tangan, mulut Nia dan Rama pun ikut bekerja. Mono lebih banyak diam. Waktu berjalan begitu cepat hingga tak terasa lembayung telah menghiasi langit.

“Sepertinya sampai disini dulu saja,” usul Nia.

“Oke. Udah sore juga, ntar kamu nggak tahu arah jalan pulang kalau kemalaman,” canda Rama.

Nia tak begitu tertarik, “Padahal baru 30%. Lihat tuh punya Mono udah separuh jadi.”

“Kamu sih ngobrol terus. Kalau kerja tuh tangannya bukan mulutnya,” sahut Rama menyalahkan Nia.

“Sebenarnya ini masih permulaan,” jawab Mono masih sibuk dengan susunan stik es krim yang telah berbentuk dinding lengkap dengan ruangan-ruangan di dalamnya yang tertata rapi dan detail.

Nia dan Rama terperangah kagum. Berharap mereka saja yang satu kelompok dengan Mono.

“Ya udah ntar kalau sempet aku lanjutin. Kamu jangan lupa ya gambar desain buatan Mono dibagusin,” pesan Rama.

Nia mengangkat jempol kemudian berpamitan pada seisi rumah berbarengan dengan Mono.

Bukan Milikku – part 6 – END

Wait for next post!

Leave a comment